Pemogokan atau mogok kerja adalah merupakan salah satu persoalan yang dapat meresahkan dunia usaha dan mengganggu hubungan kerja,keharmonisan dalam hubungan industrial serta keharmonisan kehidupan sosial masyarakat. karena melibatkan banyak pihak yang terkait. Di lain pihak bagi pekerja yang melakukan pemogokan kadang-kadang hanya merupakan keterpaksaan sebagai akibat buntunya pembicaraan atau tidak adanya komunikasi yang baik antara management dengan para pekerja/buruh, pada akhirnya mereka menempuh jalan mogok kerja demi menunjukkan integritas hak mereka dalam perundingan. Adanya kebuntuan atau mis-komunikasi, seakan tidak ada lagi jalan lain yang dapat ditempuh untuk dapat dipenuhinya keinginan mereka (para) pekerja/buruh.
Terkait dengan itu, sseperti apa yang disampaikan oleh Drs. Soewarto bahwa faktor dominan yang menjadi pemicu dan pendorong terjadinya pemogokan adalah kurang intensif dan kurang efektifnya komunikasi antara pekerja/buruh termasuk organisasinya dengan management (pengusaha). Disamping itu juga dikemukakan, bahwa ditemui beberapa faktor objektif, baik dari kalangan pekerja/buruh maupun management yang juga ikut mempengaruhi timbulnya kasus pemogokan atau mogok kerja. Lantas, bagaimana menghindari agar tidak terjadi mogok kerja, ataupun kalau harus terjadi tanpa melanggar aturan dan ketentuan. Terkait dengan itu, perlu difahami arti mogok kerja dalam perspektif Undang-Undang.
Menurut Pasal 137 Pasal 143 UUK, bahwa mogok kerja merupakan hak dasar pekerja / buruh dan serikat pekerja/serikat buruh (trade union). Oleh karena itu, dalam melaksanakan hak dasar tersebut, siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh untuk menggunakan hak mogok kerja sepanjang dilakukan secara sah, tertib dan damai. Demikian juga, siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib dan damai sesuai dengan ketentuan, asalkan mogok kerja tersebut dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan.
Penjelasan Pasal 137 UU No. 13/2003 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan gagalnya perundingan yang menjadi alasan mogok kerja adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena :
- pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh (trade union) atau pekerja / buruh telah 2 (dua) kali meminta secara tertulis kepada pengusaha untuk berunding dalam tenggang waktu 14 (empatbelas) hari kerja; atau
- pengusaha mau melakukan perundingan, akan tetapi- perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu (deadlocked) sebagai yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.
Dengan demikian, penyebab terjadinya mogok kerja, selain tidak adanya kehendak salah satu pihak untukmelakukan komunikasi dengan baik, juga dapat terjadi karena kebuntuan komunikasi atau tidak adanya kesepakatan (deadlocked) dalam pembicaraan sesuai dengan tuntutan (penawaran) masing-masing.
Pernyataan “mengalami jalan buntu atau deadlocked” ini sering digunakan oleh pekerja atau serikat pekerja untuk memaksakan kehendak guna memenuhi tuntutan mereka. Dan apabila tidak dipenuhi tuntutan yang deadlocked tersebut, maka pekerja akan beraksi. Oleh karena itu kalimat ”gagalnya perundingan” harus diterjemahkan tidak hanya karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan, akan tetapi juga pengusaha telah melakukan perundingan akan tetapi setelah ditangani oleh petugas dari instansi ketenagakerjaan belum tercapai tuntutan dari pihak pekerja.
B. Tuntutan dalam mogok kerja
Pemogokan atau mogok kerja sebagai alat (sarana) untuk mencapai tujuan pada awalnya muncul karena adanya tuntutan-tuntutan pekerja/buruh. Jika tuntutan-tuntutan tersebut dikaitkan dengan norma-norma hukum, maka dapat dibedakan menjadi tuntutan normatif dan tuntutan tidak normatif.
Tuntutan normatif adalah tuntutan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sebagai akibat pihak pengusaha (majikan) tidak memenuhi kewajiban yang diletakkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya tuntutan perbaikan struktur dan skala upah, tuntutan pembayaran THR dan sebagainya.
Dalam banyak kasus, tuntutan normatif yang paling menonjol adalah masalah pemutusan hubungan kerja (PHK), keikutsertaan dalam program jamsostek, tuntutan hak cuti, hak atas upah kerja lembur, pembentukan serikat pekerja (trade union) dan pelaksanaan UMR (sekarang UMP atau UMK/K). Kesemuanya itu merupakan hak pekerja/buruh yang seharusnya dilaksanakan secara konsekwen oleh management. Apabila pengawasan ketenagakerjaa berjalan baik, semestinya hak-hak normatif tidak perlu dituntut melalui mogok kerja, karena itu semua merupakan bagian dari penegakan hukum (law emporcement). Namun menurut Drs. Suwarto dengan terbatasnya jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan, maka pekerja/buruh ikut mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan .
Sebaliknya, tuntutan tidak normatif adalah tuntutan yang tidak didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, misalnya pemberian bonus tahunan bagi pekerja back office, tuntutan pemberian kesejahteraan lebih baik kepada pekerja dan keluarganya.
Selain dapat dilihat dari segi normatif atau tidak normatif, tuntutan pekerja/buruh dalam melakukan pemogokan / mogok kerja pekerja/buruh dapat dilihat dari segi lain, yakni mogok kerja bertendensi ekonomi, dan mogok kerja yang bertendensi non-ekonomi.
Mogok kerja yang bertendensi ekonomi, apabila pemogokan dilakukan oleh pekerja/buruh yang didasarkan pada tuntutan yang bernilai uang, misalnya tuntutan kenaikan upah, tuntutan pemberian uang makan dan transport, ataukah tuntutan yang berkenaan dengan pemberian fasilitas perumahan atau tempat tinggal di siteplan (semacam mess). Sebaliknya, mogok kerja yang bertendensi non-ekonomi, apabila pemogokan dilakukan oleh pekerja/buruh tidak berdasarkan pada tuntutan yang bernilai uang, seperti misalnya tuntutan untuk perbaikan tingkat kesejahteraan dan restrukturisasi jabatan-jabatan dalam perusahaan, atau tuntutan utnuk meminta penggantian pimpinan perusahaan atau pimpinan unit kerja yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
Dalam hal pekerja / buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, maka pekerja/buruh berhak mendapatkan upah . Dengan kata lain, apabila pekerja/buruh melakukan mogok kerja secara sah yang bukan merupakan tuntutan normatif, pada prinsipnya pekerja tidak berhak atas upah (no work no pay) , kecuali management dapat memberi toleransi upah tetap dibayar .
C. Dampak pemogokan
1. Kerugian materiil bagi perusahaan karena berkurangnya jam kerja buruh
2. Berkurangnya jam kerja secara mikro menurunkan hasil produksi dan secara makro merupakan salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
3. Frekuensi pemogokan yang tinggi dan berskala besar serta dalam waktu yang lama bisa menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik.
4. Ketidakstabilan ekonomi dan politik yang terjadi pada gilirannya menganggu iklim investasi.
5. Mengganggu kegiatan ekspor-impor.
D. Solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pemogokan.
Upaya penyelesaian mogok kerja kadang-kadang merupakan suatu seni tersendiri. Terkadang antara mogok kerja yang satu dengan mogok kerja lainnya berbeda teknik dan cara penanganan serta penyelesaiannya. Walaupun demikian dalam peraturan perundang-undangan diatur norma secara umum antara lain, bahwa sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan (melakukan mediasi) dan merundingkan dengan para pihak yang berselisih (pihak / kelompok yang mogok kerja dengan management). Dalam hal perundingan (mediasi) tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama (PB) yang ditanda-tangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang ketenagakerjaan sebagai saksi.
Dalam hal perundingan (mediasi) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang, yakni pengadilan hubungan industrial (PHI) atau arbitrase -dalam hal menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar trade union. Sedangkan terkait dengan gagalnya perundingan yang tidak menghasilkan kesepakatan, maka atas dasar perundingan (antara pengusaha dengan trade union atau penanggung-jawab mogok kerja) tersebut, mogok kerja dapat diteruskan (tidak bekerja) atau dihentikan untuk sementara (kembali bekerja / masuk kerja sementara waktu) atau dihentikan sama sekali (dimana pekerja kembali masuk kerja seperti biasa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar